Judul: Joe
Penulis: Gola Gong
Series: Balada Si Roy, #1
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2002
Jumlah halaman: ?
Rating: 1/5
Roy Boy Haris baru saja pindah ke Serang. Di sini dia
mengalami segalanya: cinta, persahabatan, dan permusuhan. Segalanya hancur
ketika Joe, anjing pemberian almarhum ayahnya, mati dibunuh Dulah dan
sekawanannya. Ditambah lagi Andi, teman satu gengnya, meninggal karena
kecelakaan. Begitulah, dan Roy berubah menjadi bad boy. Menenggak narkoba dan kebut-kebutan di jalan.
--o--
Ya, inti cerita ini cuma begitu. No more. Simple dan, ya,
seharusnya menghibur. Tapi dengan amat sangat kecewa aku terpaksa cuma kasih
bintang minimal. Yap, one star only.
Hal pertama yang bikin aku kebingungan di sini adalah: apa
benar si Roy mendadak berubah berandalan hanya karena matinya si Joe dan si
Andi? Oh, hanya karena matinya si Joe lebih tepatnya, sehingga cerita ini
dikasih judul Joe? Om Gola Gong pada awalnya cuma cerita kalau Joe mati, Andi
juga meninggal, terus eh tiba-tiba si Roy ini jadi berandalan dan bilang kalau
keberandalan si Roy ini karena kedua alasan di atas. Dia nggak melibatkan
proses gimana si Roy jadi nakal. Hubungan sebab-akibat di sini kosong melompong. Ujug-ujug lan mak bedunduk.
Jadi kenapa Roy mendadak nakal?
Oke, awalnya dia emang udah bandel. Tapi tingkat
kebandelannya yang tiba-tiba naik drastis ini yang agak “gimana”. Semua terlalu
tiba-tiba, dan terlalu cepat.
Dan yap, alur secara keseluruhan juga terlalu ngebut. Coba perhatikan:
"Roy."Roy menatap matanya."Ciumlah aku," Dewi memejamkan matanya.Roy menciumnya."Aku cinta kamu Roy"Roy hanya mendengarkan. Dia pun merasakan perpisahan ini. Berat. Tapi nanti dia berusaha untuk tidak menjadi beban dalam hidupnya.
Ya, terlalu cepat sampai-sampai adegan mencium dan kalimat “Aku
cinta kamu Roy” itu nggak ada artinya sama sekali. Padahal kedua bagian ini
harusnya bisa dieksplor lebih baik. Ya kalian tahu lah daya pikat dari ciuman
dan kata-kata cinta :D
“Roy…”
Roy menatap mata Dewi, lekat. Rona kesedihan tak mampu
wanita itu sembunyikan dari mata cokelatnya. Sebutir air mata jatuh melewati
pipinya yang lembut tanpa cela.
“Roy, ciumlah aku.” (ini kenapa si cewek jadi mendadak
murahan sih?)
Dewi memejamkan matanya menanti kehangatan Roy
membelenggunya. Sedetik kemudian, kehangatan itu menyentuh bibirnya. Lembut,
dan manis. Begitu manis sampai ia lupa akan kesedihan yang dialaminya. Kehangatan
itu masuk lebih dalam hingga memeluk tubuhnya.
“Aku mencintaimu, Roy. Namun aku tak mampu berbuat apapun.”
Roy hanya mendengarkan. Tak mampu mengatakan apapun. Bagaimanapun,
perpisahan memang harus terjadi.
*ini kenapa jadi ngerubah karya orang*
*ini kenapa ceritanya jadi kayak telenovela*
*dikeplak pembaca*
Oh ya, untuk tragedi meninggalnya si Andi juga nggak
disinggung lebih lanjut. Tahu-tahu udah mati aja. Padahal kan kematian bisa lebih
didramatisasi biar rasanya lebih ngena gitu ya.
Jadi intinya aku kecewa sama alunya yang ngebut
sampai-sampai kehilangan detail-detailnya. Plis om Gola Gong, ini novel, buka
sinetron stripping. Jangan dipotong
sesuka hati!
Balada Si Roy pernah booming
waktu aku TK dulu (atau SD kelas satu? Entahlah). Baru bisa baca sekarang sih,
tapi kenapa pas baca jadi kecewa gini sama Balada Si Roy? Apakah aku masih mau
baca seri selanjutnya? Mari kita doakan bersama.
terima kasih atas ulasannya Kak, sangat membantu :)
ReplyDelete