source |
Sudah cukup Line-Today-able kah judul ini?
Aku rasa, hasil penelitian pada The World's Most Literate Nations (WMLN) yang dilakukan oleh John W. Miller, presiden Central Connecticut State University di New Britain yang menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara dalam tingkat literasi, sudah begitu familiar bagi kita. Sayangnya, belum banyak dari kita yang tahu tentang bagaimana metode penelitian yang dilakukan, serta mengapa Indonesia mendapat peringkat demikian.
Padahal, kamu suka membaca. Bukumu di Goodreads udah lima ribu, masak peringkat Indonesia gini-gini aja? Nggak terima kan? Sama, makanya aku menuliskan artikel ini buat kalian. Hahaha.
Di artikel kali ini, aku ingin membahas tentang dua hal. Pertama, bagaimana sesungguhnya penelitian ini dilakukan. Kedua, mengapa Indonesia memperoleh peringkat demikian menyedihkan. So, check it out.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
METODE PENELITIAN
Tentang metode penelitian, versi lengkapnya ada di buku World Literacy: How Countries Rank and Why It Matters, John W. Miller and Michael C. McKenna (2016). Namun kali ini aku hanya menyandur dari website WMLN karena, ya, kenapa harus beli?
Penelitian ini pada awalnya melibatkan data dari 200 negara. Sayangnya, setelah dilakukan pengumpulan data, peneliti tidak memasukkan beberapa negara karena kurangnya data, sehingga pada akhirnya hanya 61 negara yang masuk dalam penelitian.
Penelitian melibatkan berbagai penilaian dari dua macam variabel: literacy achievement test (tes kemampuan literasi) dan literate behavior characteristics (karakteristik perilaku literasi). Dan dari berbagai penilaian tersebut dapat dibagi menjadi lima kategori, yaitu Libraries, Newspapers, Education System - Inputs, Education System - Outputs, and Computer Availability, dan population untuk menghitung rasio perkapita.
Dilihat dari kategori dan variabel yang disebutkan di atas, fakta penting yang perlu kita garis bawahi adalah penelitian ini tidak hanya membahas tentang kemampuan membaca dari sebuah bangsa, namun juga membahas tentang "literate behaviours and their supporting resources" (perilaku literasi dan sumber-sumber pendukungnya). Bagaimana masyarakat berperilaku dan bagaimana akses masyarakat terhadap sumber literasi berperan penting dalam penelitian ini.
Baca juga: Masalah dalam Meningkatkan Minat Baca
Cukup kompleks, ya? Jadi untuk lebih detailnya, mari kita bahas setiap kategori penelitian:
A. Newspapers
Newspapers terdiri dari empat variabel penilaian:
1. Paid-for dailies: jumlah judul surat kabar berlangganan
2. Circulation: jumlah terbitan surat kabar yang dicetak tiap hari
3. Online editions: jumlah surat kabar di internet
4. Export of newspapers: nilai (dalam US dollar) dari semua surat kabar yang diekspor ke luar negeri
Catatan: semua dihitung perkapita.
B. Libraries
Libraries terdiri dari empat variabel penelitian:
1. Number of academic libraries
2. Number of public libraries
3. Number of school libraries
4. Number of volumes in all (only) public libraries
C. Education System - Input
Education System - Input terdiri dari dua variabel penelitian:
1. Years of schooling: total tahun wajib belajar (compulsory education)
2. Public expenditure on education: pengeluaran publik untuk pendidikan, dinyatakan dalam persen GDP (Gross Domestic Product/pendapatan negara)
D. Education System - Output
Education System - Output merupakan gambaran dari reading assessment score (nilai kemampuan membaca) pada siswa sekolah. Digunakan dua macam penilaian:
1. Reading assessment scores selama interval lima tahun (2006-11) diperoleh dari PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) yang merupakan penilaian literasi pada siswa yang lebih muda
2. Reading assessment scores selama interval tiga tahun (2009-12) diperoleh dari PISA (Programme for International Student Assessment) yang merupakan penilaian literasi pada kelompok usia yang lebih tua (15-18 tahun)
E. Computers
Penilaian pada variabel ini dilihat dari persentase rumah tangga dengan komputer laptop atau desktop (tidak termasuk ponsel, PDA/personal digital assistant, atau TV)
source |
PERINGKAT INDONESIA
Jadi, kita balik lagi ke pertanyaan "mengapa Indonesia memperoleh peringkat demikian?". Untuk menjawab pertanyaan tersebut, rasanya kita perlu melihat peringkat Indonesia dari setiap variabel penelitian:
Newspapers: 55
Libraries: 36,5 (bersama Tunisia)
Education System - Input: 54
Education System - Output: 45
Computers: 60
Mengejutkan: pada variabel Libraries dan Education System - Output, Indonesia memberikan pencapaian yang cukup baik. Menurutku, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki jumlah perpustakaan dan tingkat literasi siswa yang sudah cukup baik. Sayangnya, di ketiga variabel yang lain, performa Indonesia ternyata kurang dari dua variabel yang sudah disebutkan.
Masyarakat Indonesia memang bukan tipe masyarakat pembaca surat kabar, akui saja. Apalagi dengan pertumbuhan media cetak yang terus memberikan angka minus dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan internet yang semakin cepat, pelemahan perekonomian nasional, dan beralihnya para pengiklan dianggap menengarai menurunnya industri media cetak. Walaupun surat kabar online juga sudah mulai tumbuh pesat, hal itu tidak mampu mengangkat Indonesia dari variabel Newspapers.
Jika bukan dari surat kabar, dari mana masyarakat memperoleh update dari peristiwa terkini? Cerdas: media sosial. Twitter, facebook, line, instagram, dan youtube sudah menjadi sumber informasi masyarakat. Dan seperti yang sudah pernah kutuliskan di sini, masyarakat kita akan lebih suka membaca tulisan yang memang sudah ada di media sosial (status, catatan, dll) dibandingkan harus mengeklik link pranala luar yang dibagikan oleh warganet yang lain. Hal ini merupakan satu faktor penting penyebab masyarakat kurang memanfaatkan surat kabar online dan lebih memilih membaca tulisan di media sosial, walaupun pada kenyataannya pengguna internet di Indonesia memiliki jumlah yang tinggi (peringkat enam dunia, sumber), pun dengan jumlah surat kabar online.
Dan lagi, aku sendiri belum merasa jelas tentang yang dimaksud dengan online editions.
Education System - Input, dimana Indonesia menepati peringkat 54, terdiri dari dua variabel: years of schooling dan public expenditure on education. Indonesia menetapkan program wajib belajar sembilan tahun (yang, sayangnya, belum dapat dipenuhi oleh seluruh masyarakat), dengan wacana penambahan menjadi dua belas tahun dengan rumusan yang (menurutku) masih belum matang. Sementara itu, pemerintah mengalokasikan 20% dana APBN untuk mendidikan. Aku sendiri belum begitu memahami tentang bagaimana dana ini dimanfaatkan (dan aku terbuka untuk diskusi lebih lanjut soal ini).
Catatan: aku menemukan bacaan menarik tentang perbandingan pendidikan di Indonesia, Jepang, dan Finlandia di sini.
Menurut Badan Pusat Statistik, pada tahun 2015, persentase rumah tangga yang memiliki/menguasai komputer adalah sebesar 18,71%. Dari data ini, terlihat bahwa ternyata masih banyak masyarakat yang belum memiliki komputer sebagai salah satu akses literasi. Tingginya populasi Indonesia dan adanya ketimpangan ekonomi dan pendidikan menyebabkan rendahnya persentase ini.
Jadi, setelah melihat pada variabel apa dari penelitian ini dimana Indonesia menunjukkan performa yang kurang baik, aku menyimpulkan bahwa penyebab Indonesia memperoleh peringkat yang kurang baik dalam penelitian ini antara lain:
1. Masyarakat Indonesia belum memanfaatkan surat kabar sebagai sumber informasi.
2. Sistem pendidikan Indonesia belum memberikan performa yang baik, khususnya pada program wajib belajar dan belanja publik untuk pendidikan.
3. Banyak masyarakat yang belum mengenal atau memiliki komputer desktop/laptop, serta terjadinya ketimpangan teknologi.
Jelas di sini bahwa, dari segi kemampuan membaca dan jumlah perpustakaan, Indonesia sudah cukup baik. Yang dirasa kurang dari negara kita adalah sumber literasi dan budaya pendidikan.
Jadi, setelah melihat pada variabel apa dari penelitian ini dimana Indonesia menunjukkan performa yang kurang baik, aku menyimpulkan bahwa penyebab Indonesia memperoleh peringkat yang kurang baik dalam penelitian ini antara lain:
1. Masyarakat Indonesia belum memanfaatkan surat kabar sebagai sumber informasi.
2. Sistem pendidikan Indonesia belum memberikan performa yang baik, khususnya pada program wajib belajar dan belanja publik untuk pendidikan.
3. Banyak masyarakat yang belum mengenal atau memiliki komputer desktop/laptop, serta terjadinya ketimpangan teknologi.
Jelas di sini bahwa, dari segi kemampuan membaca dan jumlah perpustakaan, Indonesia sudah cukup baik. Yang dirasa kurang dari negara kita adalah sumber literasi dan budaya pendidikan.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baca juga: 6 Trik Merawat Timbunan Buku
Jadi, sudah jelas bahwa jumlah bukumu di Goodreads (dan jumlah timbunanmu di kosan) tidak berpengaruh pada tingkat literasi Indonesia menurut WMLN. Sedih ya?
Kabar buruknya, artikel in tidak dibuat untuk menawarkan solusi. Artikel ini dimaksudkan untuk membuat kita lebih paham tentang sistem peringkat yang dibuat oleh WMLN, dan mengapa Indonesia mendapat peringkat demikian. Kuharap, dengan tulisan yang sudah demikian panjang ini, kita menjadi lebih tahu bagian apa yang lemah dari Indonesia, dan, semoga, kita diberi kekuatan untuk mengatasi kelemahan tersebut.
Kolom komentar terbuka (banget) untuk diskusi dan koreksi. Barangkali aku salah menerjemahkan, atau salah menyandur data.
Jadi, menurutmu, mengapa Indonesia memiliki tingkat literasi yang rendah?
Sumber:
penyebaran buku ke daerah sangat kurang, kebiasaan dari dini untuk baca juga kurang dan banyak orang lebih suak beli konsumtif daripada buku
ReplyDeleteMasalah akses masyarakat ke buku juga jadi penentu minat baca ya mbak, sayangnya akses masyarakat daerah masih susah :(
DeleteJumlah populasi sama akses ke daerah, negara kita super luas mbak. Konsentrasi kemajuan kan di kota itu2 aja. Nanti ujung2nya ke dana yg udah terkorup, yg mestinya bs dimanfaatkan utk pemerataan.
ReplyDeleteIndonesia sangat besar ya, risiko ketimpangan sangat besar...
DeleteHarga buku yang mahal juga, Mbak. Sementara perpus-perpus di daerah juga kurang terurus. Koran sebenarnya terjangkau, 2000 sehari. Tapi buat sebagian orang itu juga termasuk kebutuhan tersier.
ReplyDeleteDan masyarakat belum cukup terliterasi untuk menganggap koran (dan sejenisnya) sebagai kebutuhan sekunder atau primer :')
DeleteAku suka sumbang buku ke pelosok krn sulit sekali mereka bisa mendapatkan kesempatan membaca buku. Untungnya di hari tertentu pos ada kirim buku gratis, lumayan mbantu juga agak tidak berat diongkos heheheh
ReplyDeleteThanks for sharing :)
DeleteSaya kira budaya baca ini jadi masalah yang kompleks. Kalau pun pemerintah punya koran gratis, belum tentu dibaca oleh masyarakat. Sebab keinginan membaca di masyarakat yang memang kurang banget. Contoh kecil, saya sempat bertanya ke rekan kantor, setahun bisa baca berapa buku, dan jawaban mereka, "nol buku." Perlu desakan keras agar mereka mau membaca walau status mereka sudah jadi pekerja. Ini yang belum ada. Belum ada paksaan di lingkungan rumah, lingkungan kerja, dan lingkungan pergaulan untuk membaca buku. Saya pikir masalah ini yang harus dibenahi.
ReplyDeleteSaya rasa, inti masalahnya emang karena kesadaran masyarakat yg masih kurang. Kesadaran dari dalam diri.....................
DeleteMembaca itu ga bisa dipaksa...ga akan bagus hasilnya kalau paksaan. Yang perlu itu membiasakan membaca. Mulai dari diri sendiri dulu. Kalau kita keliatan enjoy baca, suka beli, suka coba2 ngenalin buku ke orang, they will someday follow.
DeleteIya padahal udah numpuk buku banyak di rak. Dan kabarnya pas Harbolnas kemarin, Gramedia juga kewalahan ngadepin orderan buku kan ya? Tapi ternyata tingkat literasi Indonesia masih rendah juga ya.. Huhuhu
ReplyDeleteKarena kalo dilihat dari variabel penelitian sih, jumlah buku yg dimiliki masyarakat nggak ngefek mbak. Hahaha 😂
DeleteNah, saya juga mikir itu penelitiannya gimana ya. Ternyata terjawab disini.
ReplyDeleteSemoga bisa memberi gambaran ya 👍
Deletekalau menurutku masalahnya kompleks mak, mulai dari penyebaran buku atau bahan bacaan yang tidak merata, masih banyak daerah yang belum terjangkau listrik sehingga belum bisa menggunakan gadget, masih kurangnya kesadaran bahwa sekolah itu penting, masih kurangnya dukungan terhadap dunia literasi dan lain sebagainya.
ReplyDeletekalau sudah ngomongin yang ginian pokoknya panjangggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggg mbak, ibarat benang itu ya, "kusut"
harus diurai pelan-pelan
postingan ini bermanfaat banget. saya sempet penasaran kenapa indonesia dapet peringkat (hampir) terakhir padahal (keliatannya) minat baca buku di masyarakat cukup tinggi. melihat dari semakin merebaknya bookstagram, booktube, belum lagi berbagai macam arisan buku di kalangan ibu-ibu. ternyata dari variabel-nya memang masih belum cocok ya dengan kondisi indonesia. terutama bagian newspaper itu. sekarang siapa sih yang baca koran? (saya aja engga, hehehe) dan dari situ jadi kepikiran, "oh pantes aja di Indonesia banyak hoax yg bertebaran, wong sumber informasi utamanya dari internet yang notabene lebih mengandalkan kecepatan dan kebombastisan berita ketimbang fakta dan data." :)
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete