Judul: Kabut Perang
Penulis: Ayi Jufridar
Penerbit: Universal Nikko
Tanggal terbit: Januari 2010
Jumlah halaman: 358
Rating: 2/5
Tasrif, seorang pemuda tanggung, mendadak syok setengah mati
mengetahui rumahnya terbakar dalam serangan tentara nasional. Tapi keterkejutannya
tak berakhir sampai di situ. Ia menemukan ibu, abang, dan kakaknya meninggal
dengan kondisi amat sangat mengenaskan.
Dan lihatlah ia sekarang, berada di antara para gerilyawan
yang menginginkan kemerdekaan dan lepas dari cengkeraman republik yang selama
ini menaungi provinsi mereka.
Dalam perang, Tasrif akhirnya bertemu dengan banyak karakter
dengan watak masing-masing. Pemimpin yang perlente dan banyak membual pada
wartawan, Faris yang bersahabat dekat dengannya namun tak bisa diajak diskusi,
Ali Bopeng yang serakahnya ampun-ampunan, dan beberapa pengkhianat.
--o--
Loh, Wen, kok
ringkasan ceritanya cuma segitu doank?
Ya, selama kalian
nggak mengharapkan spoiler sih, ceritanya emang cuma gitu aja.
Ceritanya amat sangat sederhana. Tentang perjuangan para
gerilyawan dalam merebut kemerdekaan, alias gerakan separatis. Nggak, Tasrif
nggak mau kalau kelompoknya ini disebut gerakan separatis. Dia mengaku gerakan
itu adalah gerakan yang menginginkan kemerdekaan. Tapi dia sendiri tak seyakin
teman-temannya bahwa mereka akan memperoleh kemerdekaan yang mereka inginkan. Ia
bahkan belum mantap dengan tujuannya ikut gerakan ini. Beberapa kali aku ngotot
kalau dia ikut gerakan ini atas nama dendam akan kematian seluruh anggota
keluarganya, tetap si Tasrif selalu menolak kengototanku.
Meski tak diungkapkan secara gamblang dalam novel ini, aku
(dan beberapa pembaca) pasti tahu kalau yang dimaksud Ayi di sini adalah Aceh. Ya,
jaman-jaman GAM dulu lah. Waktu berita tentang GAM sedang ramai di TV, aku
masih ingusan, makanya aku nggak paham konflik itu seperti apa.
Baca buku ini rasanya kayak baca buku nonfiksi. Isinya 98%
narasi, 1% dialog, dan 1% terdiri dari ucapan terima kasih, profil penulis, dan
iklan. Jadi yang diekspos di sini cuma isi pikirannya Tasrif aja. Mulai dari
pikiran yang penting sampai pikiran yang ngelantur ke mana-mana.
Banyak hal yang bisa aku dapatkan dari novel ini,
mirip-mirip rasanya kayak kita habis baca buku nonfiksi tentang masa-masa kelam
Aceh. Dari beberapa pikiran Tasrif ini, semuanya tampak nyata dan dekat,
seakan-akan semuanya emang pernah kejadian.
Ada hal yang amat sangat fatal dalam novel ini: typo, penggunaan EYD yang kacau, dan
stuktur kalimat yang ambigu. Nah, yang aku sebutin pertama adalah kesalahan
yang paling banyak terjadi. Dan FYI kali ini aku baca versi cetaknya (bukan
ebook) sehingga kesalahan ini makin fatal aja. Buku ini
belum tersentuh tangan editor kali ya? Atau penerbitnya emang semacam self publishing yang nggak mau ngedit
secara teliti dan presisi? Entahlah, yang jelas kesalahan ini fatalnya luar
biasa.
Tak ada yang hitam pekat di dunia ini. Begitu pula dengan
yang putih bersih. Semuanya selalu abu-abu. Sebagai pihak yang salah, kita
tidak selalu salah. Sebagai pihak yang benar, belum tentu kita selalu bebas
dari dosa. Hal inilah yang ditonjolkan Ayi dalam karyanya yang satu ini. Entah mengapa
hal ini terasa begitu nyata dan dekat dengan kita.
Bukan, buku ini bukan jelek sampai-sampai aku kasih 2
bintang aja. Aku justru pengen rekomendasiin buku ini buat para pecinta fiksi
dengan latar belakang sejarah J
wen ada ebook ttg novel ini? klo ada d share dong tau krm ke email ane.. asimh
ReplyDeletenggak tahu ._. aku bacanya cetak hehehe
Delete