Thursday, June 29, 2017

[Review] Love in Edinburgh


Judul: Love in Edinburgh
Serial: Around the World with Love, #2
Penulis: Indah Hanaco
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN13: 9786020325347
Jumlah halaman: 240
Tanggal terbit: 15 Februari 2016
Tanggal baca: 24-28 Juni 2017

“…jangan pernah menikahi orang yang berani memukulmu. Jika dia sudah melakukannya sekali, apa jaminannya dia tidak mengulangi hingga keseribu kali?


Katya adalah warga negara Indonesia yang sudah dua tahun ini menetap di Edinburgh, Inggris. Ia melarikan diri dari tanah airnya karena pengalaman pahit yang dialaminya. Ia yang dulunya manja dan sudah bertahun-tahun tidak melakukan rutinitas keagamaan, semenjak tiba di Edinburgh justru mengalami banyak perubahan dalam hidup. Ia kembali kepada Tuhannya, menjalankan shalat dengan baik, dan mengikuti berbagai kegiatan amal. Dan yang membuatnya bahagia adalah bahwa teman-temannya yang berbeda agama dengannya justru mendukung dan melindunginya.

Sebastian adalah pengusaha parfum tersohor di London. Hidupnya sempurna dengan semua kesuksesan yang dimilikinya, kecuali kenyataan bahwa ibu dan pamannya menjadi korban terorisme dan ayahnya meninggal karena kecanduan alkohol. Hubungannya dengan kekasihnya, Bridget, berjalan dengan baik, bahkan akhirnya Sebastian melamar Bridget. Namun hubungan mereka akhir-akhir ini berjalan kurang baik. Jadwal kerja Bridget mulai gila-gilaan. Puncaknya, Bridget mengajak sang kekasih melakukan perjanjian pranikah yang sangat tidak disetujui Sebastian.

Jenuh dengan beban kerja dan hubungannya dengan sang calon istri, Sebastian setuju untuk mengikuti sebuah acara variety show.

"Underground Magnate kali ini akan membawa Sebastian ke Edinburgh. Sebastian menyimpan harapan, dia bisa berpikir lebih jernih ketika kembali ke London. Tapi, benarkah kerumitan hidupnya akan berkurang?"

Variety show tersebut membawanya bertemu Katya. Baginya, Katya adalah wanita yang menarik. Sampai ia memperoleh fakta bahwa Katya adalah seorang muslim. Benar, Sebastian sangat membenci Islam, karena baginya orang Islam-lah yang bertanggung jawab atas apa yang dialami ibu dan pamannya.

“Saat ini, orang bisa melakukan kejahatan yang sulit dibayangkan mampu dilakukan oleh manusia. Tapi, satu hal yang pasti, orang yang takut pada murka Tuhan, yang menjalani agamanya sebaik yang dia mampu, takkan sanggup menjahati orang lain. Dan aku bisa memastikan satu hal, aku orang yang takut pada Tuhan.”



Ini adalah karya pertama Indah Hanaco sekaligus buku pertama dari serial Around the World with Love yang kubaca. Aku sangat tertarik ketika membaca sinopsisnya. Aku memang selalu tertarik dengan buku yang memuat "kisah kelam masa lalu", dan biasanya selalu suka dengan ceritanya. Aku suka gaya bahasa yang penulis gunakan. Baku, kadang terbaca seperti novel terjemahan. Apalagi karena setting novel ini ada di Inggris sana, aku kadang jadi lupa kalau novel ini sebenarnya lokal.

Yang pertama membuatku tertarik adalah interaksi antaragama yang terdapat pada novel ini. Adem banget baca cerita seperti ini di tengah netizen Indonesia yang berantem terus sejak kejadian calon gubernur DKI nomor urut dua itu kan (hehe 😆). Pembaca juga bisa melihat bagaimana stereotype yang mungkin diberikan kepada orang Islam karena kejadian terorisme yang seringkali mengatasnamakan Islam. Penulis juga menambahkan tema violence sebagai bumbu yang apik dalam ceritanya. Namun, seperti Sebastian, aku juga heran kenapa tokoh utama Love in Edinburgh dipukulin terus sama orang.

Alur novel ini enak untuk diikuti. Cenderung lambat, namun karena membuat pembaca penasaran, aku jadi bisa menikmatinya dengan baik. Aku suka banget bagaimana Katya dan Sebastian dipertemukan. Interaksi mereka tidak berlebihan, bagaimana akhirnya mereka mulai tertarik pun terasa wajar dan tidak berlebihan sebagaimana novel romance kebanyakan, sehingga menurutku pas.
Ya, aku memang #TeamAntiGombal sih, jadi menurutku pasangan yang kebanyakan interaksi sambil sayang-sayangan justru nyebelin.

Aku suka pada karakter Katya. Wanita yang dulunya bersikap manja, namun masa lalu yang pahit membuatnya banyak berubah dan belajar. Aku selalu suka dengan tokoh yang bisa mengambil pelajaran dan berubah menjadi lebih baik seiring cerita. Katya juga mengingatkan kita untuk mampu bangkit dari keterpurukan, membekali diri dengan kemampuan agar tidak mengalami kejadian pahit kembali, yang ditunjukkan Katya dengan belajar bela diri. Sayangnya dia masih pukul-able, gimana dong? Aku malah jadi kasihan sama tokoh satu ini.

Sebastian sendiri adalah tokoh yang memikat. Ia juga seorang pembelajar, dan tidak mau terkungkung dalam penghakiman terhadap sesuatu -dalam hal ini suatu agama- sehingga akhirnya mau berpikiran lebih terbuka. Ia juga bukan tipe orang yang terlalu agresif -pada awalnya-. Sayangnya aku gagal bersimpati pada tokoh ini pada akhirnya. Ya, aku memang pecinta bad boy, tapi bukan bad boy stadium lanjut -walaupun ia mau bertanggung jawab dan lain sebagainya-.

Sejujurnya aku agak menurunkan penilaianku menjelang akhir cerita. Aku merasa penulis agak terburu-buru dalam mengakhiri kisah Katya dan Sebastian. Maksudku, chemistry yang sudah dibangun kedua tokoh dengan perlahan-lahan kemudian dilanjutkan dengan kedekatan yang menurutku terlalu terburu-buru. Dan menurutku "dosa masa lalu" yang kemudian diungkap di akhir cerita justru terasa mengganggu. Aku sendiri lebih suka jika "dosa masa lalu" itu diungkap di tengah cerita, bukan di akhir cerita, agar aku bisa melihat bagaimana kedua tokoh menyelesaikan masalah tersebut alih-alih menerima hasil penyelesaiannya mentah-mentah. 

Dan sebagai tambahan, aku merasa frustasi dengan endingnya, yaitu ketika Katya mendapat "serangan terakhir". Aku sudah bersiap dengan kemungkinan terburuk (oke, harus kuakui bahwa aku pecinta sad ending) dan, eh, gitu doang? Lagipula, "serangan terakhir" itu terasa, apa ya, terlalu maksa. Entahlah. Ya ampun, kalau aku baca paperback udah kubanting nih. Sayangnya aku baca pakai gadget. Masak dibanting sih?

Over all, novel ini bagus. Love in Edinburgh berhasil menarik minat bacaku hingga menjelang ending. Namun harus kuakui bahwa aku merasa kurang nyaman dengan bagaimana cara Indah Hanaco mengakhiri ceritanya, karena aku merasa cerita diakhiri dengan terlalu terburu-buru (dan twist-nya gitu doang).

"Saat itu dia kian menyadari betapa hidup ini menyimpan banyak kejutan. Kadang kita takkan bisa benar-benar mengerti meski sudah berusaha keras mencari maknanya. Menurut pemikiran sederhana Katya, Allah tak ingin manusia berhenti belajar."

src

Rating: ⭐⭐⭐


No comments:

Post a Comment

Komentarmu, bahagiaku ^^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...