Tuesday, February 3, 2015

[Review] Entrok - Okky Madasari

Judul: Entrok

Penulis: Okky Madasari

ISBN13: 9789792255898

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Jumlah halaman: 282

Tanggal terbit: 5 April 2010

Tanggal baca: 30 Januari - 1 Februari 2015

Rating: 5/5






"Pernahkah kalian bicara sesuatu kepada seseorang tapi diabaikan begitu saja, didengar pun tidak? ... Seperti itulah rasanya saat ini. Manusia membuat koran untuk memberitahu orang apa yang terjadi. Untuk membantu orang yang tidak bisa bersuara. Koran membuatnya bisa berteriak, bisa didengarkan. Tapi apa ini? Didengar pun tidak. Semua sia-sia. ..." -p156


Waktu Marni masih muda, entrok alias beha adalah pakaian orang kaya. Marni yang saat itu mulai mringkili, payudaranya mulai tumbuh, membuatnya tak nyaman ketika berlari atau melompat, juga ingin punya entrok. Harga entrok sangat mahal, sementara jika ia bekerja sebagai pengupas singkong di pasar sebagaimana wanita lain, ia hanya akan diupah satu singkong setiap satu kilo singkong yang ia kupas. Maka diputarlah otaknya agar bisa punya uang, biar bisa punya entrok. Ia pun nguli di Pasar Ngranget. Biarlah simbok menganggap itu ora ilok karena nguli merupakan pekerjaan laki-laki. Yang penting entrok bisa terbeli.

Marni pun tumbuh, dari pengupas singkong di pasar, nguli, bakulan sayur, bakulan panci, sampai bakulan duit.

Rahayu, anak Marni satu-satunya. Menjadi anak Marni bukan berarti membuat mereka berdua seiya sekata. Rahayu menganggap Marni pendosa. Marni menganggap Rahayu sudah mati hatinya. Didikan guru, kepercayaannya terhadap agama, membuat Rahayu percaya bahwa ibunya yang rentenir adalah pendosa. Kebiasaan ibunya yang selalu membuat sesajen tiap hari kelahiran adalah syirik. Sementara Marni menganggap Rahayu tak lagi punya hati, selalu menyakiti ibunya. Maka Rahayu memilih jalan hidupnya sendiri. Dan Marni, walau sakit hatinya, namun ia tetaplah seorang ibu.

Di dunia ini, aku hanya takut mendapat karma. Merebut milik orang lain, lalu suatu saat punyaku sendiri yang diambil. Bersenang-senang setelah membuat orang lain menangis. Selain itu, tak pernah ada yang kutakutkan. -p203

--o--

Akhirnya, lima bintang kembali datang...

Sebenarnya aku sudah membaca Entrok sebelumnya. Kali ini baca ulang aja karena di rumah timbunan emang udah habis. Namun setelah baca ulang, aku menemukan betapa aku menyukai buku ini dan tergodalah tangan-tangan ini untuk mengetikkan semacam review.

1950-1999. Empat puluh sembilan tahun. Novel ini cukup menarik dengan setting waktu selama empat puluh sembilan tahun. Dalam waktu selama itu, bisa kita saksikan banyak hal yang dituturkan Okky Madasari dalam novelnya ini. Berbagai macam kekejaman rezim penguasa pada masa itu, bentuk kekejaman para aparat negara bersenjata dalam memaksakan kehendak pada warga sipil.

Ditulis dari dua sudut pandang, Marni dan Rahayu secara bergantian dengan alur flashback, alurnya mudah dimengerti dan tidak membuatku bingung. Diawali dengan prolog yang indah, walaupun mungkin maksudnya baru akan kita mengerti saat kita sudah menamatkan novelnya. Novel ini memiliki tema-tema yang cukup besar: agama, politik, dan feminisme. Namun tema-tema ini tersusun dengan baik dan rapi.

Novel ini apik, berhasil membawaku menyusuri masa lalu. Karakter Marni dijabarkan dengan sangat kuat, begitu juga karakter Rahayu, walau menurutku karakter Marni terasa lebih kuat. Ada banyak istilah Jawa dalam novel ini, yang semakin memunculkan jiwa para tokoh. Pada bagian awal, unsur feminisme dimunculkan bersama dengan Marni yang dengan gigih nguli demi mendapatkan uang untuk entroknya. Pada masa itu, wanita hanya bekerja dengan pekerjaan yang dianggap ringan seperti mengupas kulit singkong dan tidak diupahi dengan uang melainkan hanya bahan makanan. Padahal dalam keseharian, wanita sering juga mengerjakan pekerjaan berat, misalnya mengangkut air yang beratnya bisa jadi sama dengan segoni singkong. Namun, tentu saja wanita tak berhak mendapatkan upah untuk itu. Sementara lelaki nguli yang mengangkut singkong akan mendapatkan upah.

Tema politik merupakan salah satu unsur besar dalam novel ini. Pemerintahan pada saat itu yang didominasi militer, pengumpulan upeti pada aparat, dan pelarangan segala simbol PKI. Parahnya, kebebasan beragama sangat terbatas dan segala bentuk perlawanan terhadap pemerintah berarti PKI. Orang yang memiliki tulisan ET (Eks Tahanan) di KTPnya berarti kehidupan orang tersebut sudah tamat. Kehidupan sosial dan karirnya sudah tamat. Tak ada orang yang mau berhubungan dengan ET, karena akan menimbulkan banyak masalah.

Ada banyak peristiwa masa lalu yang ditulis untuk melengkapi cerita ini, misalnya peledakan Candi Borobudur dan Tragedi Kedung Ombo. Bagiku, bagian Tragedi Kedung Ombo merupakan bagian terbaik dari novel ini. Pembangunan Waduk Kedung Ombo yang terjadi pada tahun 1985-1989 merupakan suatu tragedi yang terjadi pada rezim itu. Waduk yang menenggelamkan 37 desa di Kabupaten Grobogan, Sragen, dan Boyolali merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang semoga akan menjadi yang terakhir.

Buku ini aku rekomendasikan untuk pembaca yang ingin membaca buku bagus, membaca buku dengan bumbu-bumbu sejarah, membaca buku yang mungkin akan berhasil menghanyutkan sampai lupa pada nilai-nilai di portal akademik (Wen, curhat lagi?).

No comments:

Post a Comment

Komentarmu, bahagiaku ^^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...