Cie yang long weekend, saya mah apa yang masih asyik ambil data skripsi.
Bos besar udah nanyain tiap hari soal perkembangan skripsi saya. Entahlah, mungkin setelah lulus saya mau dijodohin sama saudagar minyak. Siapa tahu.
Hari terakhir marathon post dalam rangka ulang tahun Blogger Buku Indonesia yang ke-6. Di hari terakhir yang berbahagia, saya mau share tentang 6 alasan mengapa saya malas mereview buku.
Saya, sebagai blogger buku yang baik lagi budiman, sudah pasti identik dengan aktivitas mereview buku. Ada beberapa blogger yang hampir selalu mereview semua buku yang dibacanya. Sayangnya, saya bukan tipe orang yang seperti itu. Jika kamu mau (dan sudi) melihat aktivitas saya di Goodreads, sesungguhnya ada banyak buku yang sudah saya baca tetapi saya tidak menuliskan review untuk sebagian besar buku yang sudah saya baca itu. Padahal sebagaimana kita tahu, mereview (sambil ngomel dan curhat atau fangirlingan sama tokoh lelaki tampan) sangatlah menyenangkan.
Jadi mari kita langsung saja simak 6 hal yang membuat saya tidak mereview sebagian buku yang sudah saya baca:
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Buku Nonfiksi
Kamu bisa lihat, 98% buku yang saya review adalah buku fiksi. Utamanya adalah novel.
Mereview buku nonfiksi adalah hal yang sulit bagi saya. Gimana ya, saya bingung harus mereview bagian sebelah mananya. Selama ini, ketika mereview buku fiksi, hal-hal yang saya soroti adalah masalah penokohan, alur, konflik, dan gaya bahasa. Nah, sebagian besar buku nonfiksi yang saya baca tidak memiliki itu. Jadi ya, gimana dong?
Buku nonfiksi yang masih sanggup saya baca adalah buku dengan tema kesehatan, pengembangan diri, dan biografi. Selain itu, saya menyerah. Sejatinya, saya memang punya kesulitan untuk memahami kalimat yang agak panjang, terutama yang mengandung fakta, tipikal kalimat-kalimat dalam buku nonfiksi, jadi saya memang tidak banyak membaca buku nonfiksi --apalagi mereviewnya.
Ps: tapi saya sempat juga mereview buku nonfiksi lho.
Baca juga: Review Ken dan Kaskus, Review From Jomblo to Nikah, Review Ayahku Idolaku, Anakku Sahabatku, Review Alien Itu Memilihku.
2. Nggak Berhasil Menyelesaikan Buku Tersebut
Kadang saya heran ketika membaca review orang lain yang berisi "... buku ini bla bla bla banget sampai-sampai saya tidak bisa membacanya sampai selesai" tapi reviewnya panjang bener.
Ketika saya tidak menyelesaikan sebuah buku, saya tidak bisa membuat penilaian apa pun, sekecil apapun, karena ya itu tadi, saya bahkan nggak tahu isi keseluruhan buku ini. Kalau kata orang sih, jangan menilai karakter seseorang hanya karena kamu melihat sebagian kecil perilakunya. Karena sebagian kecil itu bisa saja menipu. Takutnya sih, bisa saja saya merasa bagian awal sebuah buku itu nggak sesuai dengan cangkir kopi saya kemudian saya memutuskan untuk tidak melanjutkannya, tapi siapa tahu ternyata bagian akhir sampai ending buku itu ternyata sangat boombayah blackpink in you areaaaaah bombastis. Siapa tahu.
3. Isi Buku Tersebut Terlalu Berat
Saya beberapa kali membaca buku-buku yang isinya cukup berat. Buku karya Pramoedya Ananta Toer, Okky Madasari, dan penulis-penulis berat semacam itu sepertinya tidak pernah saya review walau nyatanya saya menyukai buku-buku tersebut. Selain karena sulit untuk menuliskan ulasan untuk buku-buku berat, saya agak takut mereview buku ini karena takut salah ngomong.
Atau salah menilai.
Atau salah-salah yang lain.
Saya orangnya emang selalu salah sih.
Agak minder aja, takutnya yang baca review buku semacam ini adalah orang-orang pintar, berwawasan luas, berpendidikan, dan cendekiawan sejati. Bukannya saya mau bilang kalau mereka yang membaca review buku-buku ringan sebagai orang yang tidak demikian sih, tapi, ah, gimana sih ngomongnya, susah sekali.
Ps: tapi saya pernah mereview Entrok-nya Okky Madasari lho. Saya merasa hebat wkwk.
Baca reviewnya di sini.
4. Buku Tersebut Sangat "Bukan Cangkir Kopi Saya"
Terkadang saya kurang terkesan pada suatu buku karena, ya, the book is really not my cup of coffee. Bukan karena buku itu jelek atau apa, tapi karena bukan selera saya saja.
Buku-buku ini, biasanya akan saya beri rating satu bintang. Kamu hanya akan menemukan secuil review satu bintang di blog ini. Bahkan sebenarnya buku-buku ini kebanyakan tidak saya dokumentasikan di Goodreads. Bayangkan kalau buku rating satu saya masukkan juga, rating rata-rata saya jadi berapa? Sekarang aja rating rata-rata saya di GR nilainya udah mirip sama IPK.
Ini pengakuan: kalau di GR tulisannya tahun ini saya baru baca 10 buku, sebenarnya saya sudah baca lebih dari itu. Sebagian besar dari buku yang tidak saya masukkan adalah buku-buku rating satu.
5. Buku Tersebut "Terlalu Baik Buat Saya" 😢
Kamu pernah nggak, lihat cowok/cewek yang cakep dan seksi banget sampai-sampai kamu speechless? Paling-paling nyebut astaghfirullah doang, itu pun kalau ingat.
Sama dengan saya di sini. Membaca buku yang menurut saya sangat bagus justru membuat saya bingung harus membahas buku tersebut di bagian sebelah mananya. Mau nyari jeleknya nggak ketemu; mau bahas bagian bagusnya, tapi bingung gimana cara ngomongnya. Pokoknya bagus aja gitu. Bagus sebelah mananya? Ya pokoknya bagus.
Salah satu contoh nyatanya adalah sebuah novel fantasi terjemahan berseri dengan jumlah buku tujuh buah dengan tokoh antagonis yang nggak punya hidung. Bukunya ada banyak, saya baca ulang berkali-kali, tapi saya nggak pernah membuat review satu kalimat pun untuk satu pun bukunya.
Eh saya nggak sebut merk ya, jadi saya nggak bilang kalau buku berseri yang saya maksud ini Harry Potter.
6. Lagi Malas Aja
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
IN YOUR AREAAAAAAA |
Itu tadi enam alasan yang membuat saya tidak membuat review untuk beberapa buku yang saya baca.
Apakah kamu tipe orang yang selalu membuat review dari buku yang kamu baca, atau kamu tipe moody-an macam saya ini? Kalau kamu tipe yang moody-an, bagaimana kamu memutuskan satu buku tertentu perlu kamu buat reviewnya atau tidak? Yuk share di kolom komentar!
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Baca juga post #BBIHUT6 Marathon yang lain:
creds: tumblr, freepik
Lucu yang bagian harry potter itu. Tanpa dipertegas lagi udah keliatan lho XD
ReplyDeleteNgomong2 ngereview nonfiksi memang susah karena sering ngebahas konsep. Misal buku matematika diskrit, dibaca sih tapi ga bisa ngeresensinya. Bidang lain juga gitu, misal ngebahas pernikahan ala-ala islami. Kan perlu baca minimal dua buku yang sejenis lalu dibandingkan. Intinya sih kalau mau ngeresensi non fiksi harus tahu yang perlu dibahas, minimal setuju atau tidak dengan 'paham' atau teori yang penulis tuliskan...dan itu susah :D Malah seringkali curcol dan tebak tebak tentang si penulis ini kira-kira condong ke mana ya? Yang disampaikan mudah diterapkan ga? Saya pernah mengalami kejadian serupa apa tidak? Dsb. Udah mirip nyusun skripsi kecil-kecilan :D
nonfiksi sebenarnya nggak melulu soal buku2 konseptual sih. memoar, biografi, catatan perjalanan dll juga nonfiksi. banyak orang yg tetap bisa mereview buku nonfiksi yg kayak gitu.
Deletesayangnya aku tetep nggak bisa :(