Saturday, January 31, 2015

[Opini Bareng] Januari: Ekspektasi


Lha, ada angin mamiri dari selat mana yang mampu membuat Wenny akhirnya menguatkan diri untuk mengisi napas kehidupan pada blognya yang sudah ditelantarkan sekian lama?

Emang udah lama aku nggak aktif ngeblog, nggak ngikutin perkembangan Blogger Buku Indonesia yang tercinta. Aku telat tahu kalo ada Opini Bareng. Divisi Event BBI emang nggak ada matinya, ada aja acara-acara kece badai yang diadakan.

Buat yang belum familiar sama Opini Bareng, silakan tengok tengok di sini. Namun intinya, akan diberikan sebuah tema tiap bulannya dan tiap peserta boleh ngepost apapun tentang tema itu.

Dan tema bulan ini adalah Ekspektasi.




Apa itu ekspektasi?

Menurutku sih ekspektasi itu ketika kita beranggapan bahwa "eh novel ini kayaknya bagus" atau "duh, kayaknya novelnya jelek deh".

Bicara soal bagaimana aku bisa punya ekspektasi terhadap suatu buku, ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Kalau buatku sendiri, ekspektasi bisa terbentuk dari faktor penulis dan penerbit.

Ketika aku pernah membaca karya seorang penulis, aku akan cenderung menganggap karya-karya lain dari penulis tersebut akan kurang lebih sama dengan karyanya yang pernah kubaca, baik sama dalam segi gaya bahasa atau tipe konflik yang dimiliki. Walau aku tahu bahwa bagaimanapun penulis bisa berubah seiring berjalannya waktu (misalnya tiba-tiba ia memiliki suatu karya masterpiece diantara karya-karyanya yang biasa aja -atau bisa jadi sebaliknya- atau si penulis tiba-tiba ingin mencoba hal baru), aku tetap akan berekspektasi bahwa semua karya penulis itu akan mirip dengan karyanya yang pernah kubaca.

Sementara itu, faktor penerbit juga memegang peranan yang tak kalah penting dalam membentuk ekspektasi. Misalnya, aku sendiri menganggap (duh sebut merek hahaha) Gagasmedia sebagai penerbit cerita-cerita roman manis (?), teenlit dan metropop Gramedia Pustaka Utama memiliki cerita yang ringan dan menghibur, Bentang Pustaka sebagai penerbit novel-novel besar dan popular semacam serial Laskar Pelangi dan Supernova, Haru yang dikenal sebagai penerbit buku-buku beraroma Asia Timur, dan entah berapa macam brand lain yang secara serampangan kupakai untuk memperkirakan isi novel penerbit tertentu. Karena sebenarnya tiap penerbit memang punya karakter sendiri pada setiap buku yang diterbitkannya, sehingga kita bisa memperkirakan karakter buku yang diterbitkan oleh penerbit tertentu. Aku sendiri agak jarang membaca buku terbitan penerbit yang nggak terlalu familiar atau penerbit baru kecuali untuk buku-buku religi, walaupun aku siap membaca karya penulis-penulis baru.



Nah, selain faktor penulis dan penerbit yang menurutku adalah faktor utama, kadang-kadang aku bisa berekspektasi secara sotoy berdasarkan cover buku. Faktor wajah memang selalu mempengaruhi otak setiap orang, kan? Kalo kita ketemu cowok cakep dan rapi, kita akan berekspektasi: wah nih cowok kayaknya berpendidikan, sopan, duh sepatunya kinclong banget tuh dia pasti orangnya cinta kebersihan, duh nih pasti kaya, rajin kerja, blablabla *duh gini nih kalo baca postingan ibu ibu rumpi cyin*. Begitu juga pas ketemu buku cakep, covernya bagus, kertasnya bagus, sinopsisnya bagus, pasti isinya bagus nih :D
Ya, sayangnya aku sering ketipu sama cover sih.
Menurutku, Gagasmedia masih jadi raja untuk faktor yang satu ini (dan aku sering ditipu sama raja, suer. ternyata isi nggak sebagus sampul. kan nyesek.).

Tapi, apakah cover yang kebagusan sampai kadang-kadang bikin ekspektasi ketinggian itu buruk? Nggak juga. Apa salahnya menggaet calon pembeli dengan cover surgawi? Malah sebaiknya setiap penerbit di dunia ini membuat sampul sebagus mungkin, biar kita ini para pembaca yang mencerdaskan diri untuk nggak gampang menghakimi sesuatu dari wajahnya aja. Nggak semua cowok cakep itu kaya lho, girls. LOL

Faktor lain? Rating. Aku tipe orang yang pelit ketika mau beli buku. Ini serius. Aku nggak akan beli buku kalau aku belum memastikan buku itu layak aku baca. Jadilah aku selalu bawa gadget dengan koneksi internet memadai ketika mampir ke toko buku. Antara ogah rugi dan mikirin timbunan di kosan.
Cuma rating? Ya. Nggak baca-baca review dulu?

Aku tipe orang yang sebisa mungkin nggak baca review dulu kalau aku emang berniat buat beli bukunya. Jaman sekarang orang ngereview sering menyertakan spoiler mentah-mentah tanpa tanda bahaya bung. Kalo udah kejeblos spoiler, aku jadi nggak mood buat beli bukunya :D
Aku cuma baca review kalau: Pertama, aku udah baca bukunya. Ya biar tahu aja apakah pendapatku sama dengan orang lain atau nggak. Kedua, tertarik sama bukunya tapi belum yakin banget mau beli. Bisa jadi kan kalau aku malah jadi pengen beli setelah baca reviewnya.
Tapi ketika aku udah benar-benar fix mau beli suatu buku, aku nggak akan baca review tentang buku itu.

Aku bukan tipe orang yang excited sama film adaptasi dan segala hal yang berhubungan dengannya, karena pada dasarnya aku emang nggak terlalu suka nonton film. Aneh ya? Ketika para pembaca mulai heboh dengan buku hebat yang filmnya mau dirilis, aku santai aja. Bahkan ketika buku yang benar-benar aku suka mau difilmin, aku juga masih nggak terlalu excited. Berapa kali aku mampir ke bioskop selama aku hidup? Nggak banyak. Jadi faktor film adaptasi ini emang nggak mempengaruhi ekspektasiku.

Ada beberapa buku yang baru-baru ini kubaca:

Ekspektasiku akan novel ini cukup tinggi, mungkin karena aku sudah membaca empat karya Ilana Tan terdahulu, disertai penerbitnya yang sudah tak diragukan kiprahnya. Apalagi sampulnya juga menarik. Sejauh ini aku merasa novel ini agak di bawah ekspektasiku. Aku agak dikecewakan pada beberapa bagian yang hilang dari novel ini, antara lain konflik beberapa tokohnya yang kurasa masih kurang eksekusi.







Ekspektasiku? Nggak terlalu tinggi, karena sebelumnya aku belum pernah membaca karya Adenita. Aku juga nggak terlalu tertarik sama covernya. Novelnya ternyata cukup melampaui ekspektasiku karena memuat banyak sekali nilai luhur kehidupan, walaupun suplemennya ternyata nggak terlalu menginspirasi seperti yang kukira.






Rain Over Me karya Arini Putri
Kekuatan wajah sebuah buku memang luar biasa. Novel ini benar-benar menarik secara visual, dengan ketebalan yang pas untuk ukuranku, dengan sinopsis yang luar biasa. Apalagi penerbit yang satu ini punya reputasi yang bagus, sampai-sampai aku melupakan fakta bahwa Arini Putri adalah penulis baru buatku. Tapi setelah membaca isinya, rasanya kayak dijatuhkan dari kasur. Encok booook!






Secret Admirer karya Rarizza Rakmavika
Buku yang cuma 196 halaman menurunkan ekspektasiku. Dan, ya, walaupun cover dan penerbitnya bagus, ternyata buku ini memang sesuai ekspektasiku: nggak terlalu sesuai dengan seleraku.










Ekspektasi sering menipu, menurutku. Itulah kenapa menurutku berekspektasi terhadap sesuatu itu sebenarnya nggak perlu, karena akan membuat kita bersikap subjektif dan akan membuat kita kecewa jika sebuah buku ternyata performanya di bawah ekspektasi kita. Tapi memiliki ekspektasi itu manusiawi, dan walau kadang kita tak ingin, namun mengira-ngira seringkali terjadi.

Jadi, enaknya gimana?
Kalau aku sih memilih untuk membiarkan diriku berekspektasi sotoy, tapi aku nggak terlalu percaya sama ekspektasiku sendiri. Bagaimana denganmu?

No comments:

Post a Comment

Komentarmu, bahagiaku ^^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...